Minggu, 14 Februari 2010

BAONK DAN IYUNG (Sebuah Refleksi)


Oleh : Drs. Waris Hadi

Kucing kesayangan keluarga kami pergi tanpa pamit. Kami menduga-kalau kucing kami dibuang oleh orang lain, bahkan saya telah menuduh orang disekitar saya. Ya yang saya maksud tetangga. Tuduhan itu semakin fokus pada salah satu tetangga yang memang tidak suka kucing.

Baonk, adalah nama keren kucing kami. Lahir dengan jenis kelamin jantan, memang sangat cocok dengan kelakuannya, bandel ga bisa diam, suka merusak tanaman,hiasan rumah, dan yang pasti mengambil makanan di atas meja dan bahkan mencuri makanan didalam lemari makan yang tertutup. Saudara kembarnya juga jantan bernama Iyunk. Baonk dan Iyunk kecil begitu menggemaskan, kalaupun nakal, nakal yang lucu. Baonk diklaim kucing anak bungsuku Naufal, dan Iyunk kucingnya Rizal anak sulung saya.

Nasib Iyunk tidaklah menggembirakan, pada usia remajanya ia sakit-sakitan. Bagi Rizal, Iyunk bukan sekedar kucing biasa. Ia sangat rajin merawat, memberikan obat membuatkan susu, dan memberikan alas tidur bahkan selimut ketika ia tidur. Adiknya juga tidak jauh berbeda aktivitas malam, sebelum tidurnya pastilah mencari kucing kesayangannya, Baonk.

Pikiran pendek kami berjalan tanpa kontrol. Melihat Iyunk yang sakit-sakitan dan penyakitnya bahkan tambah parah, maka kami memutuskan untuk membuangnya. Sejujurnya kami sendiri tidak tega untuk membuangnya, tetapi dorongan nafsu jauh lebih kuat. Tidak diduga Rizal begitu terpukul. Kata orang-orang perasaan anakku seperti disambar geledek, ketika mengetahui kucingnya nggak ada.

“ Pak, kucingnya dibuang ya?” sebuah pertanyaan yang sangat menggigit hati kami.

“ I…i..ya“, jawab saya lirih, kaku dan merasa bersalah, wajahku jauh tertanam di bumi.

Ekspresinya datar dan saya tahu perasaan anakku pasti sakit sekali. Sakiiiiiiit.

Hujan turun begitu derasnya, anak sulungku duduk sendiri, diam menerawang di teras rumah kami, air matanya meleleh membanjiri pipi sederas hujan. Mungkin hatinya lebih bergemuruh dari geledek yang menyambar dan menggelegar saat itu. Sebenarnya saya dan istri tercinta bisa merasakannya.

Ada apa sayang…?”.Tanya istriku, sambil mengelus kepalanya, mengalirkan hawa murni kedamaian seorang ibu. Walaupun tidak keras tangisnya semakin menjadi, suaranya tenggelam ditelan derasnya air yang jatuh di genteng, dan suara gelegar petir yang menyambar. Ia lari ke kamar, menjatuhkan diri ke kasur, terus mengalirkan larva panas dari dalam dadanya yang sesak tak terperi, karena sedihnya.

Saya berusaha untuk ikut menenangkannya, dengan cara yang jauh lebih kasar dari istriku.

“Kenapa sih nangis …, ingat kucing ya, maafin Bapak ya… ?!“

Mendengar kata kucing, Rizal berbicara dalam tangisnya

“ I..yaaaaa….ka ka sia….n, kucing…nya…kan lagi sakit …. hu…jan….. huhu…….”

Kami berkumpul di kamarnya saling berpelukan, suasana begitu haru. Tangis pun meledak bersama. Haru tak terkira. Seperti baru ditinggal mati saudara kami tercinta. Dadaku terguncang hebat, menyesal…sesal yang tiada guna…. Maafkan bapak nak! Kami tidur dalam keharuan.

Paginya kami melakukan pencarian massal. Aku, istriku, Ragil adikku, dan mba Pipin, pergi bersama. Sebagai pimpinan proyek, saya kerahkan segenap kemampuan untuk mencarai Iyunk yang terlanjur kami buang. Kami berharap dapat menemukan kembali “si Malang“. Lokasi pembuangan pun kami kepung. Kami juga menanyakan si Iyunk ini kepada orang-orang yang tinggal di sekitar lokasi . Tidak sampai di situ, lokasi pencarian pun kami lebarkan. Hasilnya NIHIL! Tangis Rizal masih berlanjut. Biasanya terjadi saat makan, hujan, atau bahkan melihat Baonk yang dimanjakan oleh adiknya. Emosinya pasti meleleh. Sebulan berlalu lelehan panas larva hati masih sering terjadi.

“Entar kalau bapak punya uang, bapak belikan kucing Anggora, ya “ Janji saya. Ternyata itulah penyumbat larva yang sangat ampuh.

Iyunk, masih sekali-kali hadir dalam ingatannya, dia tidak begitu suka melihat Baonk dimanjakan. Dia merasa saya telah berbuat tidak adil, ya kalau dipikir dengan suara hati yang amat jernih, kami memang telah berbuat tidak adil. Saya telah mengambil pelajaran.

Pertama : jangan mengambil tindakan yang tidak dipikirkan secara matang

Baonk besar semakin menunjukkan eksistensinya sebagai kucing kesayangan yang bandel. Kemampuan membuka lemari makan dan mencuri makanan di meja, membuat saya kesal.

”Hai turun… Baonk.. turun “ hardikku sambil mengacungkan tangan mengarah kepadanya.

Bugg!!

Suara tangan kami mendarat di bagian tubuhnya. Biasanya ia turun dan bersembunyi di kolong meja. Kalau sudah seperti itu Naufal pasti buru-buru menenangkannya, dielus-eluslah leher bagian dalamnya yang berwarna putih bersih, sambil menggendongnya. Sekali lagi saya memetik pelajaran berguna dari anak saya Naufal.

Pelajaran Kedua tentang bagaimana menyayangi sesama mahluk ciptaan Allah, setelah belajar dari Rizal yang begitu tulus cintannya pada apa yang Ia miliki, bukan pada bendanya tapi keluar dari hatinya tentang hakekat cinta suci yang datang dari hati nurani. Terima kasih ya Allah , terima kasih anak-anakku, bapak malu pada kalian.

Baonk memang nakal tapi lucu. Dia tumbuh sebagai kucing jantan yang gagah. Tubuhnya yang besar, bulunya yang tebal berwarna abu-abu metalik. Maksud saya abu-abu mengkilat, merupakan pesona tersendiri bagi kami sekeluarga. Bagaikan anak kami saja, Baonk sering menggoda kami dengan bahasa tubuhnya, tiduran dengan gaya yang khas di depan kami, membawa alat kerja kami, atau sengaja duduk di atas lembaran kerta atau buku kami, dan segala tingkahnya yang memang lucu menggemaskan. Kami jatuh hati.

Kenakalannya memang tidak berkurang, entah berapa kali saya harus memukulnya.

Istriku berangkat mandi setelah selesai menyiapkan makanan untuk santap malam kami.

“ Pak.., jagain meja ya, takut ada kucing naik !“

“ Ya “, Jawabku singkat, sambil terus menonton “ Reportase Sore “ disalah satu Stasiun Televisi Swasta.

Keluar kamar mandi istriku langsung marah melihat Baong lagi Pesta “Ikan Bumbu Rujak“ di meja makan kami. Nafsu dengan cepat mendorong saya untuk memukul Baonk, dengan getaran emosi lebih dari 9,2 skala richter. Sebuah getaran yang mampu meluluhlantakan dunia. Termasuk dunia alam bawah sadar Baonk.

Bugg…Bugg…Bugg. Tanganku berkali-kali mendarat di tubuhnya. Baong kleyengan.., jalannya sempoyongan, ke kolong tempat tidur anak kami. Saya Puas !

Ada yang beda pada Baonk, melihat tanganku mengepal saja dia langsung turun dari meja. Saya pikir, saya telah berhasil mendidik Baonk dengan cara ini. Ternyata begini toh cara mendidik hewan. Begitulah kesimpulanku. Bagaimana menurut anda?

“ Mah Baonk kemana ?”

“ Tar juga pulang, paling lagi nyari cewe! “, Jawab istriku enteng.

Hari itu Baonk tidak menampakkan batang hidungnya. Naufal mulai gelisah. Satu, dua, tiga…, sepuluh, dua puluh hari, sebulan, kami mencoba mencari Baonk di sekitar kami. Hasilnya Nihil! kami sering kali mengenangnya sebagai topik cerita disela aktivitas kami. Mengenang kelucuannya, kemanjaannya, sekaligus kenakalannya, yang membuat kami kangen tak terkira….

Emak Baonk melahirkan lagi, kami ramai-ramai menengoknya. Rizal dan Naufal sibuk mencarikan segala keperluan untuk adiknya Baonk, saya dan istriku tercinta juga sibuk menata tempat tidur baru buat bayi-bayi mungil adiknya Baonk dan Iyunk. Kelihatannya bayi mungil itu bisa menggantikan posisi Baonk dan Iyunk. Anakku senang! Si kecil lahir dengan warna yang menawan hitam dan putih. Dua-duanya hampir kembar lucu. Kesepakatan kami dua bayi mungil itu kami beri nama Bolang yang artinya Baonk Ilang untuk yang jantan dan Baling artinya Baonk linglung untuk yang betina. Emak Bolang dan Baling tentu tidak pernah tahu upacara pemberian nama yang kami selenggarakan di tingkat keluarga. Upacara itu memang tertutup untuk umum. Hehehehe…..

Tingkah Bolang dan Baling memang tidak kalah lucu, dia tumbuh dengan kasih saya yang sama dengan kakaknya dulu. Pasti dia senang. Tapi Baonk dan Iyunk belum bisa terhapus dari kenangan kami.

Empat bulan berlalu….

“ Pal-pal, itu Baonk bukan? “

“ Iya mah, itu Baonk “

“ Pak, Baonk pulang… “

Istriku langsung meluncur menuju ke arah Baonk yang lagi kangen-kangenan dengan Emaknya. Tanpa basa-basi, Baonk langsung diangkat, digendong masuk ke rumah. Heboooh ! Saya, Rizal, Opal, dan Istriku, siap melakukan upacara penyambutan tamu agung yang datang dari jauh. Kami kecewa, Baonk pergi. Kami rapat kecil merencanakan penyambutan kedua. Kami yakin Baonk pasti balik lagi. Setelah saur kami sisakan makanan untuk tamu agung kami.

Hari Pertama 13 September 2008, Baonk pulang dan mengaduk-aduk perasaan kami, menjadikan fokus cerita keluarga. Mengalahkan segala berita Infotaimen dan nasib 21 duafa yang tewas karena ngantri zakat dari sang dermawan di Pasuruhan. Sebenarnya bukan berita itu tidak menarik tapi otak kami lebih cenderung memikirkan Baonk yang Fenomenal. Saya juga tetap mengkliping berita itu, sebagai bahan refleksi dan syukur saya kepada Allah. Bahwa saya dan keluarga tidak seperti mereka. Sepertinya berlebihan memang, tapi itulah yang terjadi di keluarga kami.

Tanggal 14 September, Baonk benar-benar pulang, dia menengok rumahnya jam 09.00 pagi dan jam 14 00 siang. HP saya berbunyi ada SMS, “ Pak, Baonk pulang lagi“ , saya langsung menjawabnya dengan perasaan bahagia “ Ya, kasih makan saja“. Aku senang, ternyata Baonk benar-benar pulang. Pada hari ketiga aku benar-benar dibuat surprise melihat dia sudah ada di pintu pager. Sekali lagi kami dibuat heboh. Naufal menjemputnya. Seperti tamu saja, dia gak mau masuk kalau gak dijemput. Saya dilarang mendekat oleh Opal dan Rizal, ya saya maklum karena setiap melihat saya dia pasti kabur.

Pada hari keempatnya dia pulang dan saya sempat minta maaf sama dia “ Maafin ya Baaonk , maafin ya… sambil saya rebahkan tubuh . Saya benar benar menghamba. Agar dia mau memaafkan saya. Entah sugestologi ataukan apa.. yang pasti hanya Allah yang tahu. Pada hari berikutnya Baonk sudah datang tiga kali. Dan dia tidak begitu takut lagi pada suasana rumah, terutama kepada saya. Apakah dia juga tahu kalau saya benar-benar tulus meminta maaf sama dia. Dan Baonk telah memaafkan saya. Walahualambisawab. Pada hari itu saya memetik pelajaran yang begitu berharga dari Allah melalui seekor kucing. Andaikan Baonk tidak pulang tentu saya tidak akan pernah belajar dari kesalahan saya. Kita diciptakan oleh Allah untuk saling mengasihi.

Bayangkan betapa kasarnya saya menganiaya Kucing kami hanya karena sepotong ikan, dan yang lebih mengerikan lagi dia selalu mengingat kejadian itu, walaupun telah begitu lama dia tetap ingat “ saya adalah Monster“ bagi dirinya. “Bagaimana kalau ini kita berlakukan pada anak manusia ?” Subahanallah.

Kau memang Maha Berkehendak. Terima kasih ya Allah atas pelajaran besar ini. Terima kasih Rizal, Naufal dan Istriku, terimakasih juga pada Baonk dan Iyunk. Maafkan atas kesalahanku. Walauhualambisawab